HALMAHERA– Kehadiran kawasan industri nikel PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Kecamatan Weda Tengah, Kabupaten Halmahera Tengah, ternyata mengundang polemik serius terutama dalam bidang kesehatan masyarakat. Warga mengeluh dengan lonjakan kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan diare sejak kawasan ini mulai beroperasi pada 2018. Meskipun ditujukan untuk mendukung proyek transisi energi melalui penyediaan bahan baku baterai kendaraan listrik, efek samping dari pembangunan ini mulai terasa mengganggu kehidupan masyarakat sekitar.
Hernemus Takuling, salah satu warga Lelilef Sawai, menyuarakan kekhawatirannya terhadap pencemaran udara yang dihasilkan dari aktivitas industri tersebut. "Samua so kotor. Kaluar di jalan saja musti pake masker. Di muka rumah musti siram air tiap hari. Pintu musti kunci terus, abu masuk sampe di atas meja. Setiap hari ini torang kena penyakit karena hirup abu macam-macam," ungkap Hernemus, kepada Mongabay.
Analisis terbaru yang dilakukan Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) menunjukkan adanya peningkatan kasus kesehatan yang mengkhawatirkan. Tercatat terjadi lonjakan hingga 800-1.000 kasus ISPA per tahun di desa-desa sekitar IWIP, selain peningkatan 500 kasus diare per tahun. Dari data Puskesmas Lelilef, tren peningkatan kasus ISPA sangat signifikan, dari 434 kasus pada 2020, melonjak menjadi lebih dari 10.579 kasus pada 2023.
Pembangunan kawasan industri IWIP ini telah mengubah lanskap ekologi dan sosial di wilayah tersebut. Mulai dari pembabatan hutan hingga pencemaran sungai dan laut, yang secara langsung mempengaruhi mata pencaharian nelayan setempat. Hermenemus menyinggung dampak tersebut, "Torang di Lelilef pe hidup ini tinggal tunggu waktu. Samua so rusak dari utang [hutan] sampe air pante. Penyakit satu datang abis satu."
Selain isu kesehatan, daya tampung energi dalam operasional IWIP juga menimbulkan kritik. Laporan dari AEER, Walhi Sulawesi Tengah, dan Environmental Rights Foundation (ERF) menunjukkan proyek ini memanfaatkan 11 PLTU captive dengan kapasitas total yang mencapai 3.400 megawatt, dan tiga PLTU lain sedang dalam tahap pembangunan. PLTU ini menggunakan batubara sebagai bahan bakar utama, sehingga emisi yang ditimbulkan menambah polusi udara dan berkontribusi pada pemanasan global.
Julfikar Sangaji dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengamati, sumber berbagai macam penyakit warga tak lepas dari ekstraksi, konsumsi, dan emisi batubara dari PLTU captive tersebut. "Kenyataannya, seluruh mata rantai operasi IWIP membutuhkan tenaga listrik luar biasa besar, karena proses-proses peleburan dengan suhu tinggi itu disuplai dengan membakar batubara," ujarnya dalam laporan Jatam.
Dokter Fadhli Rizal Makarim menyatakan, pekerja tambang berisiko tinggi mengidap mine dust lung diseases (MDLD) karena terus terpapar debu saat bekerja. Polusi udara ini, menurut studi Greenpeace, dapat memicu berbagai penyakit serius termasuk kanker paru-paru dan penyakit jantung.
Muammar Fabanyo, Humas IWIP, menjelaskan bahwa seluruh operasional perusahaan telah sesuai dengan ketentuan perizinan yang berlaku. "Seluruh kegiatan operasional secara bertanggung jawab," katanya dalam jawaban tertulis kepada Mongabay. Dengan demikian, perusahaan mengklaim memiliki mekanisme pencegahan dan monitoring dampak lingkungan, meskipun masyarakat sekitar merasakan dampak yang jelas dari aktivitas ini.
Kisah Supriyadi Sudirman, warga Desa Sagea, menyuarakan keresahan yang dirasakan oleh masyarakat akibat penggunaan pembangkit listrik batubara di kawasan industri tersebut. "Jika terus ditambah, investasi yang terlampau merusak ini makin membunuh kami sebagai warga yang hidup sehari-hari di kampung," tutup aktivis Save Sagea ini dengan tegas.
Kawasan industri nikel di Halmahera memang menyimpan sejumlah potensi ekonomi besar, namun di satu sisi memberikan dampak lingkungan dan sosial yang tidak bisa diabaikan. Dengan berbagai laporan dan keluhan dari masyarakat, menjadi tantangan bagi pemerintah dan pelaku industri untuk mencari solusi yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.