JAKARTA - Sektor energi Indonesia tengah memasuki fase signifikan dalam upaya mencapai swasembada energi melalui peningkatan produksi liquefied petroleum gas (LPG) domestik. PT Pertamina Gas, yang merupakan bagian dari Subholding Gas PT Pertamina (Persero), telah mengambil langkah besar dalam upaya ini dengan memanfaatkan kapasitas produksinya di LPG Plant Gresik dan PT Perta-Samtan Gas. Strategi ini diharapkan mampu memperkuat ketahanan energi nasional sekaligus mengurangi ketergantungan impor LPG.
Dalam pernyataan resminya di Jakarta pada Selasa, Direktur Utama Pertamina Gas, Gamal Imam Santoso, menekankan peran krusial Pertagas sebagai bagian penting dalam rantai pasokan energi nasional. "Dengan konsistensinya dalam menghasilkan LPG berkualitas tinggi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, Pertagas telah berkontribusi langsung terhadap pengurangan ketergantungan impor energi dan penguatan pasokan LPG nasional," ungkap Gamal.
Perta-Samtan Gas, sebagai joint venture antara Pertagas dan ST International, juga memainkan peran signifikan dalam upaya ini. Dengan kapasitas desain sebesar 250 MMSCFD, perusahaan ini mampu memproduksi sekitar 710 MT LPG dan kurang lebih 2.200 barel kondensat per hari. Produksi dari Perta-Samtan Gas kemudian disalurkan melalui PT Pertamina Patra Niaga untuk kebutuhan domestik, memungkinkan distribusi yang efisien ke wilayah-wilayah seperti Pontianak dan Bangka.
LPG Plant Gresik yang juga dikelola oleh PT Energi Nusantara Perkasa (ENP) menambah dimensi penting dalam inisiatif swasembada energi ini. Kilang ini dirancang dengan kapasitas 350 MMSCFD dan mampu memproduksi sekitar 105 ton LPG per hari, serta sekitar 880 barel kondensat per hari. Keberadaan kilang ini memperkuat upaya pemerintah untuk meningkatkan kemandirian energi nasional. Gamal menambahkan, "Kilang LPG Plant Gresik ini secara konsisten memberikan kontribusi nyata dalam mengurangi impor LPG dan memperkuat ketahanan energi negara."
Dalam konteks tantangan yang dihadapi, pengamat ekonomi energi dan Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, memberikan analisanya mengenai situasi konsumsi LPG di Indonesia. Pasca-konversi minyak tanah ke LPG, konsumsi domestik mengalami lonjakan signifikan, dari di bawah 2 juta ton per tahun menjadi sekitar 9 juta ton per tahun. Namun, kapasitas produksi domestik saat ini hanya sekitar 2 juta ton per tahun, yang berarti sebagian besar kebutuhan LPG masih harus dipenuhi dari impor.
"Sementara kapasitas produksi LPG domestik hanya kisaran 2 juta ton per tahun. Akibatnya, sebagian besar kebutuhan LPG harus dipenuhi dari impor," jelas Komaidi. Ia juga mencatat kendala utama peningkatan produksi LPG adalah masalah bahan baku, yang umumnya berupa gas dengan rantai kimia tertentu yang tidak banyak tersedia di Indonesia. "Indonesia memiliki gas dalam jumlah banyak, tetapi dengan rantai kimia yang berbeda dengan yang dibutuhkan sebagai bahan baku LPG," tambah Komaidi.
Untuk mengatasi permasalahan ini, Komaidi menyarankan perlunya mengidentifikasi jenis gas di lapangan mana yang memiliki rantai kimia sesuai kebutuhan produksi LPG. Selain itu, opsi impor bahan baku juga bisa dipertimbangkan jika memberikan manfaat ekonomi lebih tinggi dibandingkan impor langsung produk LPG.
Pemerintah, melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), tegas berkomitmen mendorong hilirisasi untuk membangun industri LPG nasional. Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, menyatakan bahwa bahan baku yang dibidik untuk keperluan ini adalah propana (C3) dan butana (C4). "Bahan bakunya adalah C3 dan C4 daripada gas. Kita lagi mendata kurang lebih hampir sekitar 1,8 juta ton yang didorong hilirisasi, sehingga dengan demikian total sudah hampir 3,6 juta sampai 3,7 juta ton dari bahan yang kita kelola untuk menjadi LPG," ungkap Bahlil.
Inisiatif dan strategi yang terkoordinasi antara Pertamina Gas dan pemerintah jelas menegaskan upaya serius Indonesia dalam mencapai swasembada energi. Dengan terus meningkatkan produksi domestik, Indonesia berpotensi tidak hanya mengurangi ketergantungan pada impor tetapi juga memperkokoh ketahanan energi nasional yang berujung pada stabilitas ekonomi jangka panjang.