JAKARTA - Indonesia tengah menghadapi tantangan besar dalam sektor energi, terutama terkait dengan ketergantungan pada impor minyak. Data terbaru dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa lebih dari separuh konsumsi minyak nasional pada tahun ini dipenuhi dari impor. Dengan lebih dari 50 persen konsumsi minyak dibeli dari luar negeri, hal ini menimbulkan kekhawatiran mengenai ketahanan energi bangsa.
Wakil Menteri ESDM, Yuliot Tanjung, menyatakan bahwa konsumsi minyak nasional pada tahun 2023 mencapai angka yang signifikan yaitu 518 juta barel. Dari jumlah tersebut, sebanyak 297 juta barel atau sekitar 57 persen berasal dari impor. "Konsumsi minyak nasional pada 2023 sebesar 518 juta barel yang dipenuhi dari produksi dalam negeri 221 juta barel dan impor minyak nasional sebesar 297 juta barel," ungkap Yuliot dalam acara Hilir Migas Conference & Expo BPH Migas di Hotel Intercontinental Jakarta, Kamis, 12 Desember 2024.
Lebih mendetail, impor minyak tersebut terdiri dari 129 juta barel dalam bentuk minyak mentah dan 168 juta barel dalam bentuk bahan bakar minyak (BBM). Data ini mencerminkan betapa besarnya ketergantungan Indonesia terhadap pasokan minyak dari luar negeri. Tantangan ini tidak hanya berdampak pada ekonomi negara tetapi juga menimbulkan risiko terhadap upaya menjaga lingkungan yang lebih bersih dan berkelanjutan.
Dengan cadangan minyak Indonesia yang tercatat sebesar 4,70 miliar barel minyak (BBO), pemerintah harus bergerak lebih cepat dalam mengatasi ketergantungan ini. "Sedangkan cadangan minyak Indonesia adalah sebesar 4,70 BBO," jelas Yuliot. Meski cadangan minyak Indonesia terbilang cukup besar, kenyataan bahwa sebagian besar konsumsi masih harus dipenuhi dari impor menunjukkan ada masalah struktural yang perlu segera diatasi.
Dalam usahanya menekan angka impor, pemerintah terus berupaya mengurangi penggunaan minyak sebagai bahan bakar utama di dalam negeri. Langkah ini diambil tidak hanya untuk menekan angka impor, tetapi juga sebagai bagian dari strategi menuju pembangunan yang lebih ramah lingkungan. "Kami terus berupaya untuk mengurangi penggunaan minyak di dalam negeri, terutama untuk bahan bakar, demi menekan impor dan juga untuk kepentingan lingkungan," ujar Yuliot.
Kondisi ini menekankan perlunya diversifikasi sumber energi nasional. Pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) menjadi salah satu solusi yang dicanangkan oleh pemerintah. Dengan memanfaatkan potensi energi surya, angin, dan biomassa, harapannya bisa mengurangi ketergantungan pada impor dan lebih mengoptimalkan sumber daya energi lokal.
Sejalan dengan itu, pemerintah juga harus mengoptimalkan efisiensi energi dan memaksimalkan penggunaan teknologi untuk menekan konsumsi minyak. Dukungan dari berbagai sektor, termasuk industri, transportasi, dan rumah tangga, diharapkan dapat terjalin dalam upaya ini.
Tidak hanya berhenti pada kebijakan energi, reformasi di sektor pajak, insentif untuk investasi di energi terbarukan, dan kampanye kesadaran nasional tentang pentingnya efisiensi energi menjadi aspek penting yang harus digenjot. Ini semua merupakan upaya menuju ketahanan energi yang lebih baik dan mengurangi ketergantungan pada impor minyak.
Dengan langkah-langkah tersebut, Indonesia diharapkan bisa mengoptimalkan sumber daya energi yang dimiliki dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil yang diimpor. Tantangan ini memerlukan komitmen tidak hanya dari pemerintah tetapi juga dari seluruh elemen masyarakat untuk memastikan masa depan energi yang lebih berkelanjutan bagi generasi mendatang.