JAKARTA - Setahun setelah diluncurkannya Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) untuk Just Energy Transition Partnership (JETP) di Indonesia, sejumlah pihak menyatakan bahwa konsep keadilan yang diusung masih belum tercapai. Sejak peluncurannya pada November 2023, banyak kritik mengemuka terkait distribusi dan dampak dana transisi energi ini.
CIPP, yang ditujukan untuk mendorong transisi energi dalam aspek sosial, pendanaan, dan lingkungan, diharapkan dapat menjadi solusi bagi isu energi berkelanjutan di Indonesia. Namun, kritik datang dari Suryadi Darmoko, Indonesia Field Organizer 350, yang menyoroti bahwa pendanaan JETP saat ini belum memberikan dampak signifikan terhadap masyarakat. "JETP ini dampak ke masyarakatnya tidak ada, jadi 'just'-nya di mana. Dananya ke perusahaan-perusahaan yang menggantungkan bisnisnya di energi fosil. Pendanaannya tidak cukup adil," ujar Suryadi dalam diskusi di Jakarta, Jumat, 6 Desember 2024.
Suryadi juga menekankan pentingnya memperhatikan aspek sosial melalui pendanaan hibah, untuk memastikan bahwa transisi energi ini tidak hanya menguntungkan sektor korporasi tetapi juga masyarakat luas. Kritik serupa datang dari Dwi Sawung, Manajer Kampanye Tata Ruang dan Infrastruktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), yang menilai adanya "benang kusut" dalam pelaksanaan program ini, terutama pada aspek lingkungan. Ia mengkritik solusi alih status dari hutan alam menjadi Hutan Tanaman Energi (HTE) yang dianggap sebagai solusi palsu. “Hutan Tanaman Energi merupakan hutan yang menghasilkan biomassa sebagai salah satu sumber energi terbarukan. Namun demikian, proses awal untuk menciptakan hutan ini adalah dengan menebang pohon,” jelas Dwi.
Masalah lain muncul dari perspektif tenaga kerja industri. Unang Sunarno dari Kongres Aliansi Buruh Indonesia (KASBI) menyuarakan kondisi pekerja yang masih berjuang untuk memperoleh hak-hak dasar di tengah isu transisi energi. "Kami masih memperjuangkan hak-hak kami sebagai pekerja yakni soal pengupahan. Omnibus Law tidak berpihak kepada kami. Namun demikian kami tetap cinta bumi," ungkap Unang.
Dari sisi pemerintah, Koordinator Penyiapan Program Konservasi Energi Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian ESDM, M. Arifuddin, mengakui bahwa transisi energi di Indonesia memerlukan investasi yang signifikan. Pemerintah menyambut baik kerjasama dengan JETP untuk mencapai tujuan ini. "Kami mendorong JETP membantu pemerintah dalam hal pendanaan. 253 unit pembangkit dibutuhkan untuk mengaliri listrik warga dari Aceh sampai Papua. Kami pun mendorong dana hibah dialihkan ke proyek-proyek ke masyarakat," kata Arifuddin.
Di sisi lain, Head of JETP Indonesia Secretariat, Paul Butarbutar, mengklaim bahwa pihaknya telah menetapkan standar ketat untuk mengimplementasikan program transisi energi berkeadilan. "Kami punya standar 1-9 untuk implementasi program-program transisi energi berkeadilan. Jika merugikan atau berlawanan terhadap aspek-aspek berkeadilan maka JETP tidak akan masuk ke sana," ujarnya dalam diskusi yang sama.
Meski demikian, hingga saat ini, komitmen pendanaan sebesar 21,6 miliar dolar AS atau sekitar Rp 345,8 triliun telah dijanjikan untuk JETP Indonesia. Lebih dari 1 miliar dolar AS atau sekitar Rp 15,8 triliun, menurut data, telah dialokasikan untuk mendanai program-program transisi energi berkeadilan di tanah air.
Peneliti senior dan Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), Pius Ginting memberikan alternatif pandangan mengenai implementasi energi yang berkeadilan. Ia merekomendasikan, antara lain, pensiun dini PLTU dan menjadikan geothermal sebagai energi pengganti, dengan pertimbangan spesifik lokasi dan asesmen dampak biodiversitas. “Hal ini pun perlu asesmen dampak biodiversitasnya juga,” tambah Pius.
Dengan berbagai pandangan kritis ini, kerja keras dan kolaborasi diharapkan dapat terus terjalin agar transisi energi di Indonesia benar-benar berkeadilan dan memberikan manfaat yang nyata bagi seluruh lapisan masyarakat.