JAKARTA - Di tengah gemuruh keramaian pengunjung yang memadati setiap stan pameran di Inacraft 2025, sebuah inovasi ramah lingkungan dipresentasikan di panggung Hall B Jakarta International Convention Center (JICC). Pada Rabu, 5 Februari 2025, malam (lilin) batik berbasis minyak sawit resmi diluncurkan sebagai alternatif pengganti malam tradisional yang selama ini berbasis minyak bumi. Peluncuran diwarnai dengan peragaan selembar kain batik dari Laweyan, hasil karya para pengrajin yang telah beralih menggunakan malam berbahan dasar sawit.
Acara peluncuran ini diawali dengan diskusi bertema "Perpaduan Warisan Budaya dan Praktik Keberlanjutan," yang diselenggarakan oleh Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Diskusi menarik ini menghadirkan beberapa pembicara penting, diantaranya Ketua Forum Pengembangan Kampung Batik Laweyan, Alpha Febela Priyatmono; Corporate Communications Head Apical Group, Prama Yudha Amdan; Sustainable Commodities Lead WWF Indonesia, Angga Prathama Putra; dan aktris serta aktivis lingkungan Asri Welas.
“Potensi pengembangan sawit berkelanjutan sangat besar, dan ini bisa dicapai melalui skema sertifikasi. Malam batik dari minyak bumi kini telah digantikan oleh malam berbasis minyak sawit yang lebih ramah lingkungan dan berbentuk padat,” jelas Windrawan Inantha, Market Transformation Deputy Director dari RSPO, yang memandu diskusi.
Sawit sebagai Energi Terbarukan untuk Batik
Saat ini, produksi lilin batik berbasis sawit masih terbatas dan dipusatkan di Kampung Laweyan, Jawa Tengah, sebagai bagian dari proyek percontohan Apical. Proses penelitian untuk menghasilkan malam berbasis sawit dimulai beberapa tahun lalu dan kini terbukti lebih berkelanjutan dibandingkan produk yang berasal dari minyak bumi.
“Sebetulnya proses ini tidak rumit, tetapi dibutuhkan kemauan untuk melakukan substitusi malam. Fungsi stearin dari sawit menggantikan lilin berbasis minyak bumi yang tidak terbarukan,” jelas Windrawan lebih lanjut. Ia menambahkan bahwa stearin, yang merupakan komponen utama sebanyak 55-60% dari malam sawit, berasal dari minyak sawit yang mengandung asam lemak jenuh.
Peran Kampung Laweyan dalam Industri Batik Berkelanjutan
Nugroho, pemilik Batik Cap Tiga Negeri dan anggota Forum Pengembangan Batik Laweyan, menjelaskan bahwa saat ini mereka memproduksi sekitar 500 kg lilin batik sawit dalam sebulan yang langsung habis terjual. Dengan harga per kilogram antara Rp30 ribu hingga Rp35 ribu, produk ini telah menarik perhatian para pengrajin di daerahnya.
Alpha Febela Priyatmono, sebagai salah satu narasumber, menceritakan bagaimana Laweyan terpilih sebagai pusat pengembangan malam sawit. “Di Laweyan, dulu dikenal dengan pengrajin batik karena tanaman kapas tumbuh subur di sini. Meski sempat terpuruk, kini melalui Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan, kami berinisiatif untuk menghidupkan kembali industri batik dengan pendekatan yang lebih berkelanjutan,” katanya.
Kolaborasi Industri dan Lingkungan untuk Masa Depan
Dukungan terhadap malam sawit juga disuarakan oleh Angga Prathama Putra dari WWF Indonesia. Ia menyambut baik upaya UMKM yang bergerak ke arah keberlanjutan. Menurutnya, ada tiga pilar utama yang harus didorong: keberlanjutan di industri kecil dan menengah, pengelolaan instalasi pengolahan air limbah oleh masyarakat, dan pelestarian budaya yang memiliki nilai tinggi.
Sementara itu, Prama Yudha Amdan menekankan pentingnya sawit sebagai komoditas masa depan yang sudah terintegrasi ke dalam kehidupan sehari-hari. "Dari kita bangun pagi sampai kita tidur lagi, sawit ada di mana-mana. Dari sabun, minyak goreng, sampai biodiesel semuanya mengandung sawit," terangnya.
Menghadirkan Batik Berkelanjutan ke Dunia
Salah satu suara inspiratif datang dari Asri Welas, pemilik Denyut Semesta, yang dikenal memproduksi tekstil dari limbah kain dengan pewarna alami. “Saya sadar akan dampak negatif dari limbah tekstil dan pewarna kimia terhadap alam. Oleh karena itu, saya mempromosikan fashion responsibility di kalangan anak muda,” ungkapnya.
Melihat kesuksesan yang diraih, produk Denyut Semesta kini telah merambah pasar internasional, termasuk di California dan Manhattan, AS. “Keberlanjutan tidak hanya bisa dibicarakan, tetapi harus dikerjakan bersama. Dan kolaborasi adalah kuncinya. Mari kita mulai dengan menggunakan produk yang lebih berkelanjutan,” tutup Asri dengan penuh semangat.
Inovasi malam berbasis sawit ini merupakan langkah nyata untuk mengintegrasikan budaya lokal dengan praktik keberlanjutan, membuka jalan bagi masa depan industri batik dan lingkungan yang lebih hijau. Peluncuran di Inacraft 2025 menandai awal dari transformasi yang lebih luas, mengajak pelaku industri dan masyarakat untuk mendukung perubahan positif ini.