Batu Bara

Harga Batu Bara Terjun Bebas Hingga Terendah dalam Empat Tahun, Ini Penyebabnya

Harga Batu Bara Terjun Bebas Hingga Terendah dalam Empat Tahun, Ini Penyebabnya
Harga Batu Bara Terjun Bebas Hingga Terendah dalam Empat Tahun, Ini Penyebabnya

JAKARTA - Harga batu bara global mengalami penurunan signifikan pada Selasa, 11 Februari 2025, mencatat rekor terendah dalam hampir empat tahun terakhir. Kondisi ini disebabkan oleh pasar yang berlimpah pasokan dan sejumlah faktor geopolitik dan ekonomi. Penurunan harga yang signifikan ini menimbulkan pertanyaan tentang stabilitas pasar batu bara di masa depan.

Dalam pergerakan harga terbaru, batu bara Newcastle untuk kontrak Februari 2025 menyusut sebesar US$ 1,6 menjadi US$ 105,65 per ton. Sementara itu, kontrak untuk bulan Maret 2025 mengalami penurunan lebih tajam sebesar US$ 2, berakhir di angka US$ 108,75 per ton. Kontrak untuk bulan April 2025 turut mencatat penurunan, anjlok sebesar US$ 2,15 ke angka US$ 112,05 per ton.

Sementara itu, di pasar Eropa, harga batu bara Rotterdam juga mengalami nasib serupa. Harga untuk Februari 2025 turun US$ 0,85 menjadi US$ 104,3 per ton. Untuk kontrak Maret 2025, harga terkoreksi sebesar US$ 0,5 dengan nilai akhir US$ 103,7 per ton. Pada April 2025, harga kembali melemah sebesar US$ 0,55 menjadi US$ 103,4 per ton.

Melihat kondisi ini, banyak pihak menilai bahwa ada beberapa faktor utama yang menyebabkan terjun bebasnya harga batu bara. Salah satu penyebab utama adalah adanya peningkatan pasokan yang cukup signifikan dari produsen-produsen batu bara utama dunia.

Mengutip data dari Trading Economics, China, sebagai salah satu produsen dan konsumen terbesar batu bara dunia, baru-baru ini mengumumkan akan meningkatkan produksinya sebanyak 1,5% menjadi 4,82 miliar ton pada tahun 2025. Hal ini dilakukan setelah mencatat rekor produksi pada tahun 2024. Langkah peningkatan produksi ini bertujuan mengantisipasi dan memastikan ketersediaan pasokan, terutama terkait kebijakan emisi karbon dan penutupan tambang karena pelanggaran keselamatan.

Di pasar domestik, persediaan batu bara di sektor utilitas China juga mencapai level tertinggi. Persediaan meningkat 12% dalam dua bulan hingga Oktober 2024. Bahkan, Indonesia, sebagai eksportir batu bara terbesar, turut melaporkan lonjakan produksi mencapai 836 juta ton pada 2024, melampaui target yang ditetapkan sebesar 18%.

Analis senior energi di sebuah firma investasi terkemuka, yang enggan disebutkan namanya, mengatakan, “Peningkatan pasokan global ini membawa dampak signifikan pada harga batu bara. Pasar mengalami kelebihan pasokan sementara permintaan tetap stagnan, mendorong harga ke tingkat lebih rendah.”

Sebagai respons giliran dari dinamika global, hubungan perdagangan antara China dan Amerika Serikat juga memainkan peran penting dalam situasi pasar ini. China telah memberlakukan tarif impor terhadap batu bara dari Amerika Serikat sebagai tanggapan atas pembatasan ekspor yang diterapkan oleh Washington. Walaupun sejatinya ekspor batu bara termal AS ke China hanya menyumbang sebagian kecil dari konsumsi total, kebijakan tarif ini dapat berdampak pada harga produk energi alternatif lainnya, terutama gas alam cair (LNG) yang juga terkena tarif impor.

Ahli ekonomi energi dari University of Sydney, Dr. Jonathan Lee, menjelaskan, “Ketegangan perdagangan antara dua ekonomi terbesar dunia tersebut memaksa China mencari alternatif sumber pasokan atau meningkatkan produksi domestiknya. Hal ini kemudian memberikan tekanan lebih lanjut pada harga batu bara internasional.”

Di tengah situasi yang tidak menguntungkan ini, beberapa perusahaan tambang tengah mengevaluasi kembali strategi mereka. Beberapa di antaranya tengah mempertimbangkan penurunan produksi untuk menstabilkan harga agar tidak terus mengalami kerugian.

Selanjutnya, beberapa analis pasar komoditas menyoroti bahwa tren penurunan harga ini dapat mendorong percepatan transisi energi menuju sumber daya yang lebih berkelanjutan seperti energi terbarukan. “Harga yang terus menurun ini mungkin akan mengubah perspektif industri energi global, mendorong investasi ke sumber energi yang lebih bersih,” ujar Tomas Etheridge, seorang konsultan energi terkemuka.

Harga batu bara yang terpuruk juga mempengaruhi saham-saham perusahaan tambang batu bara di bursa global. Banyak investor yang mulai kehilangan kepercayaan terhadap performa sektor ini, mendorong penjualan besar-besaran. Meskipun demikian, beberapa pihak melihat ini sebagai kesempatan membeli saat harga rendah berharap akan ada rebound di masa depan.

Sementara para pelaku pasar terus memantau perkembangan terkini ini, tidak dapat dipungkiri bahwa industri batu bara menghadapi tantangan besar. Perlu ada langkah-langkah strategis dan kolaborasi antara pemerintah, perusahaan, dan pemangku kepentingan lainnya untuk menangani kelebihan pasokan dan memitigasi dampak penurunan harga batu bara ke depan.

Dengan segala tantangan yang ada, masa depan harga dan industri batu bara akan sangat bergantung pada bagaimana kebijakan ditetapkan dan bagaimana pasar merespons dinamika yang terjadi saat ini. Apakah harga batu bara akan kembali stabil atau justru akan menemukan dasar baru, waktu yang akan berbicara. Untuk saat ini, mata dunia energi tertuju pada bagaimana pasar batu bara global akan bergerak ke depan dan strategi yang akan diambil oleh berbagai pihak terkait.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index