Batu Bara

Produksi Batu Bara Indonesia Cetak Rekor, tetapi Pertumbuhan Energi Baru Terbarukan Melambat

Produksi Batu Bara Indonesia Cetak Rekor, tetapi Pertumbuhan Energi Baru Terbarukan Melambat
Produksi Batu Bara Indonesia Cetak Rekor, tetapi Pertumbuhan Energi Baru Terbarukan Melambat

JAKARTA - Produksi batubara Indonesia telah mencatatkan angka yang mengesankan, melampaui target yang ditetapkan pada tahun 2024, sementara pertumbuhan bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) tertinggal jauh dari target ambisius yang seharusnya diwujudkan. Kondisi ini menggambarkan kontras yang signifikan dalam sektor energi Indonesia yang patut menjadi perhatian bagi para pemangku kepentingan.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melaporkan bahwa produksi batubara pada tahun ini mencapai 836 juta ton, setara dengan 117% dari target yang telah ditetapkan sebesar 710 juta ton. Ini merupakan rekor baru dalam sejarah produksi batubara di Indonesia. Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, menyebutkan bahwa dari total produksi tersebut, 550 juta ton telah diekspor ke berbagai negara, sementara 233 juta ton digunakan untuk memenuhi kewajiban pasar domestik atau Domestic Market Obligation (DMO). Sisanya, 48 juta ton, disimpan sebagai stok.

"Yang benar-benar di pasar batubara itu kurang lebih sekitar 1.250-1,5 miliar ton. Kita menyuplai kurang lebih sekitar 555 juta ton. Itu sama dengan 30-35 persen dari konsumsi dunia," ungkap Bahlil dalam konferensi pers yang diadakan pada Selasa, 11 Februari 2025.

Lebih lanjut, Bahlil menjelaskan bahwa pemerintah telah menyetujui target produksi batu bara untuk tahun 2025 sebesar 735 juta ton, sesuai dengan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) 2025. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada penurunan target produksi, fokus pada ekspor dan pemenuhan kebutuhan dalam negeri tetap menjadi prioritas utama.

Di balik rekor produksi batubara, pertumbuhan bauran EBT justru menghadapi tantangan besar. Indonesia menargetkan untuk mencapai net zero emission (NZE) pada tahun 2060. Namun, hingga tahun 2024, kapasitas pembangkit listrik yang terpasang baru mencapai 101,1 Gigawatt (GW). Dari kapasitas tersebut, 86 GW adalah dari pembangkit fosil, sementara hanya 15,1 GW atau sekitar 15% dari total kapasitas adalah dari pembangkit EBT.

"Fosil ini termasuk batubara, gas, dan BBM 85% yang energi baru terbarukan sebesar 15%," ujar Bahlil. Angka ini masih jauh dari target pemerintah yang menetapkan agar bauran EBT mencapai 23% pada tahun 2025. "Kalau target 2025 itu defisit sekitar 8.000 megawatt," tambahnya.

Dari sisi persebaran, wilayah Sumatera menjadi yang terbesar dalam pemanfaatan EBT, dengan bauran sebesar 33% yang dihasilkan dari pembangkit berkapasitas 6,2 GW. Sulawesi berada di posisi kedua dengan bauran EBT sebesar 20% atau 2,5 GW, diikuti oleh Kalimantan dengan 14% atau 0,8 GW terpasang. Sedangkan Jawa dan Papua memiliki bauran terkecil, masing-masing 10% dan 3%, dengan kapasitas terpasang 5,3 GW dan 0,3 GW.

Peningkatan produksi batubara yang luar biasa ini tentu memiliki dampak signifikan bagi ekonomi nasional, terutama dalam hal penambahan devisa negara dari ekspor. Namun, tantangan besar yang dihadapi dalam memenuhi target bauran EBT harus segera diatasi untuk memastikan keberlanjutan dan ketahanan energi nasional.

Meski ada upaya untuk meningkatkan kapasitas EBT, berbagai hambatan masih menghalangi, mulai dari regulasi yang belum optimal, keterbatasan infrastruktur, hingga minimnya investasi di sektor EBT. Pemerintah diharapkan dapat mempercepat pembangunan infrastruktur dan menciptakan kebijakan yang lebih ramah lingkungan untuk menarik lebih banyak investasi di sektor ini.

Lebih dari sekadar mencapai target produksi batubara yang mengesankan, Indonesia perlu memastikan bahwa pertumbuhan EBT juga berjalan seiring guna mewujudkan tujuan jangka panjang terkait kebijakan perubahan iklim. Pengembangan EBT tidak hanya akan mendukung pencapaian net zero emission tetapi juga meningkatkan ketahanan energi dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, yang rentan terhadap fluktuasi harga global.

Seiring dengan rekornya produksi batubara, pemerintah diharapkan dapat memberikan perhatian lebih untuk menggencarkan upaya transisi energi, dengan meningkatkan insentif bagi pengembangan EBT dan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi inovasi hijau. Sebagai negara dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, Indonesia seharusnya memimpin dalam penerapan teknologi energi bersih dan berkelanjutan.

Ke depan, tantangan besar akan tetap ada, namun dengan kemauan politik yang kuat dan strategi yang tepat, Indonesia memiliki potensi besar untuk tidak hanya menjadi raksasa batubara, tetapi juga sebagai pemimpin dunia dalam energi ramah lingkungan. Ini bukan hanya sebuah tantangan, tetapi juga kesempatan bagi Indonesia untuk menorehkan sejarah dalam upaya menjaga lingkungan dan melindungi bumi bagi generasi yang akan datang.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index