OJK

OJK Terbitkan POJK 19/2025 untuk Permudah Pembiayaan UMKM

OJK Terbitkan POJK 19/2025 untuk Permudah Pembiayaan UMKM
OJK Terbitkan POJK 19/2025 untuk Permudah Pembiayaan UMKM

JAKARTA - Upaya memperkuat sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) kembali mendapat perhatian serius dari regulator. 

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi mengeluarkan aturan baru melalui Peraturan OJK (POJK) Nomor 19 Tahun 2025 tentang Kemudahan Akses Pembiayaan kepada UMKM. 

Regulasi yang berlaku sejak 2 September 2025 ini dipandang sebagai langkah penting memperluas akses modal, meningkatkan daya saing, sekaligus memperkuat kontribusi UMKM terhadap perekonomian nasional.

Terbitnya aturan ini tidak hanya menjawab tantangan perlambatan kredit UMKM, tetapi juga sejalan dengan agenda prioritas pemerintah dalam Asta Cita, yang menekankan penciptaan lapangan kerja, percepatan pemerataan ekonomi, dan pengurangan kemiskinan.

Aturan Baru, Harapan Baru bagi UMKM

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menegaskan bahwa POJK ini dirancang untuk mendorong perbankan maupun lembaga keuangan nonbank (LKNB) agar lebih aktif menyalurkan pembiayaan dengan prinsip mudah, cepat, tepat, murah, dan inklusif.

“Dengan diberlakukannya POJK ini, bank dan LKNB diharapkan menghadirkan pendekatan lebih inovatif sesuai kebutuhan setiap segmen UMKM. Mulai dari usaha mikro dan ultra mikro yang membutuhkan akses cepat, hingga usaha kecil dan menengah yang memerlukan layanan lebih kompleks,” jelas Dian.

Regulasi ini menuntut penyederhanaan persyaratan pembiayaan, pemanfaatan teknologi informasi, serta skema inovatif sesuai karakteristik usaha. Bahkan, kekayaan intelektual dapat dijadikan agunan, sementara percepatan proses bisnis bisa dilakukan melalui pemanfaatan Pemeringkat Kredit Alternatif (PKA).

Latar Belakang Lahirnya POJK 19/2025

Hingga Juli 2025, kredit perbankan tumbuh 7,03 persen secara tahunan (yoy) menjadi Rp8.043,2 triliun. Namun, pertumbuhan kredit UMKM hanya 1,82 persen—jauh tertinggal dari kredit korporasi yang tumbuh 9,59 persen. Proporsi kredit UMKM terhadap total kredit juga stagnan di 18,61 persen, bahkan terkontraksi 0,62 persen sejak akhir 2024.

Kondisi inilah yang mendorong lahirnya aturan baru. Menurut OJK, perlambatan tersebut membutuhkan intervensi kebijakan yang afirmatif agar pelaku UMKM lebih mudah mendapatkan akses pembiayaan formal.

Isi Penting POJK UMKM

Dalam aturan baru ini, OJK mewajibkan bank umum, BPR, bank syariah, BPR syariah, serta LKNB konvensional dan syariah untuk:

Menyediakan kemudahan pembiayaan melalui penyederhanaan syarat dan metode penilaian.

Mengembangkan skema khusus sesuai kebutuhan segmen UMKM.

Memperluas bentuk jaminan, termasuk hak kekayaan intelektual.

Menetapkan biaya pembiayaan yang wajar dan transparan.

Memanfaatkan teknologi digital untuk mempercepat layanan.

Meningkatkan literasi keuangan dan melindungi konsumen.

Selain itu, bank dan LKNB diwajibkan menyusun rencana pembiayaan UMKM dalam rencana bisnisnya. OJK juga menyiapkan insentif bagi institusi yang proaktif, terlebih pemerintah telah menempatkan dana Rp200 triliun di perbankan untuk mendukung ekspansi kredit.

“Kita akan pastikan niat baik pemerintah untuk men-drop dana Rp200 triliun bisa diimplementasikan dengan baik, termasuk menjawab kekhawatiran terkait penyaluran kredit UMKM,” tambah Dian.

Dukungan dari DPR

Langkah OJK ini mendapat sambutan positif dari Anggota Komisi XI DPR, Puteri Anetta Komarudin. Menurutnya, aturan tersebut mampu memangkas prosedur rumit yang selama ini menjadi kendala utama UMKM saat mengakses pembiayaan formal.

“Harapannya akses modal usaha bisa lebih mudah dijangkau dengan adanya peraturan ini, sehingga tidak ada lagi masyarakat yang terjerat rentenir maupun pinjaman online ilegal,” tegas Puteri.

Payung Hukum dan Integrasi Regulasi

POJK 19/2025 merupakan tindak lanjut dari amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Regulasi ini juga disusun setelah berkonsultasi dengan DPR, dan akan efektif berlaku dua bulan sejak diundangkan.

Selain memperluas akses modal, aturan ini menekankan pentingnya tata kelola yang sehat, manajemen risiko, serta ekosistem pembiayaan berkelanjutan. OJK menegaskan, kebijakan ini bukan sekadar memperbanyak jumlah kredit, tetapi juga memastikan kualitas dan keberlanjutannya bagi sektor UMKM.

Kerangka Hukum Pembiayaan UMKM

Aturan pembiayaan UMKM di Indonesia memang sudah diatur secara komprehensif dalam berbagai instrumen hukum. Beberapa poin penting antara lain:

Pemerintah pusat dan daerah wajib menyediakan pembiayaan UMKM melalui APBN, APBD, maupun sumber lain yang sah (UU No. 20/2008, PP No. 7/2021).

Bentuk pembiayaan bisa berupa pinjaman, hibah, subsidi, penjaminan, hingga pembiayaan khusus (UU No. 20/2008, PP No. 7/2021).

Bank dan LKNB diwajibkan menyusun rencana penyaluran pembiayaan kepada UMKM dalam rencana bisnisnya (POJK 19/2025).

Skema pembiayaan dapat disesuaikan dengan karakteristik usaha, termasuk menerima jaminan berupa hak kekayaan intelektual.

Pemerintah memberi penjaminan hingga 80% dari nilai pinjaman UMKM (PP No. 7/2021).

Plafon program tertentu, seperti Pembiayaan Ultra Mikro (UMi), ditetapkan maksimal Rp20 juta per orang (PMK No. 130/2024).

Dengan berbagai instrumen kebijakan yang ada, termasuk POJK 19/2025, diharapkan UMKM tidak lagi kesulitan memperoleh modal. Dukungan regulasi, insentif pemerintah, hingga kolaborasi dengan lembaga keuangan dan fintech dapat menjadi katalis pertumbuhan sektor ini.

OJK menegaskan, keberhasilan aturan ini bergantung pada sinergi semua pihak: perbankan, lembaga keuangan nonbank, pemerintah pusat dan daerah, serta pelaku usaha itu sendiri. Tujuannya jelas, yakni membangun ekosistem UMKM yang sehat, inklusif, dan berkelanjutan.

Jika regulasi ini berjalan efektif, bukan hanya UMKM yang diuntungkan, tetapi juga perekonomian nasional yang semakin kokoh di tengah tantangan global.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index